“Loe” atau “gue” sopan gak, sih?

Ternyata ya bicara sopan ke orang lain itu relatif, lho. Maksudnya, semua itu tergantung kepada siapa kita bicara, dan di mana kita bicara. Menyapa teman dengan panggilan, “loe” atau “gue” itu termasuk sopan, asalkan teman itu sudah akrab, seumuran kurang lebihnya, dan di saat acara tidak resmi: di sekolah saat istirahat atau di lingkungan rumah. Coba kita lihat percakapan berikut.

Dua orang teman sebaya mengobrol di kantin sekolah.

A : Eh, gue pinjem duit dong buat beli bakwan.

B : Ah, kebiasaan loe mah. Emang gw emak loe apa?

Dari percakapan ini akan terasa nilai-nilai keintiman dari dua orang ini. Obrolan mereka masih termasuk sopan, lho walau pakai “loe” “gue.” Coba jika obrolan tersebut diubah lebih baku.

A : Hai, apakah saya boleh meminjam uang, Anda?

B : Ah, itu kebiasaan jelek dipelihara. Saya kan bukan ibu Anda, toh!

Nah, terasa sekali percakapan ini kurang intim, tidak ada keakraban di antara dua sahabat itu. Obrolan ini juga termasuk sopan. Tentu kalian akan memilih percakapan yang pertama, bukan. Karena selain membuat akrab juga mendekatkan jarak persahabatan.

Mengapa kita bisa lupa nama orang?

Tentu kita pernah mengalami ketika bertemu orang namun kita lupa namanya siapa.  Padahal ingat wajah, namanya lupa. Atau pernah juga kita sering mendengar ibu kita yang hanya bermaksud memanggil satu nama anaknya namun yang terpanggil semua nama anaknya. “Wawan…eh Adi…eh Wiwid…aduh maksudnya kamu Nur sini bantu ibu.” bisa-bisa datang semua, tuh anaknya! Kebayang gak sih kalau anaknya 13. Mungkin bagi anak tunggal tidak pernah mengalami hal seperti itu ya atau jangan-jangan malah ketuker sama nama hewan piaraan.

Kejadian-kejadian ini wajar dialami oleh manusia bukan karena masalah umur kok namun karena otak kita menampung banyak data. Saya ibaratkan otak itu seperti laci kartu anggota di perpustakaan yang menyimpan kartu-kartu yang disusun berderet ke belakang. Pasti ada dong kartu yang diletakkan di depan, di tengah, dan di belakang. Data baru menggeser data lama. Orang-orang yang berada di sekitar kita pasti akan kita ingat namanya karena data itu atau ibarat kartu itu letaknya ada di depan. Sedangkan orang-orang yang jarang kita temui, jarang dibicarakan, jarang muncul di depan mata itu biasanya mudah dilupakan. Nah, orang-orangnya ini masuk ke dalam data atau kartu yang letaknya di belakang. Untuk menariknya ke depan butuh waktu. “Aduh kamu siapa ya, Ina, ya? Bukan. Ani, ya? Bukan. Hmmm….Irma, kali? Eh bukan juga. Weitss…(mikir sejenak)….owalah kamu tuh, Tini. Tini Supartini, kan?”

Hasil gambar untuk laci kartu perpustakaan

Lalu bagaimana dengan kasus ibu kita yang sering memanggil nama semua anaknya. Yah karena ibu kita selalu menempatkan nama anak-anaknya di depan, anak-anak selalu ada di pikiran seorang ibu. Eits bapak juga dong ntar ada yang iri.  Jadi karena kartu yang memuat nama anak selalu di depan ketika mau dicabut….ibarat cabut kartu gitu eh kecabut banyak. Keluar deh nama-nama anak dari anak pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Kalau ini bukan karena lupa nama ya cuma karena maksudnya mau tertuju ke A eh malah B, C, bahkan D ikutan disebut. Ayo yang masih punya ibu, segera cium tangan dan peluk ia dengan erat. Katakan, “I love you, Ibu. Sudah menempatkan nama anakmu selalu di depan.”

Hello masyarakat pembaca tercinta

Hai, setelah lama tidak ngeblog kini ada kesempatan lagi menuangkan pikiran ke blog ini. Saya hanyalah mbak-mbak kantoran yang datang pagi dan pulang sore. Begitu sampai rumah leyeh-leyeh sambil nunggu anak-anak pulang ngaji.

Saya senang dengan ilmu bahasa jadi tidak heran jika tulisan saya menyerempet ke arah itu. Suka juga dengan travel apalagi wisata kuliner. Yah walau tidak sering tapi tiap 6 bulan sekali ke daerah lain….ehem…. itu pun dibiayai kantor.

Jika ditanya di mana satmingkal saya? Eh apa itu satmingkal, itu artinya unit kerjanya di sebelah mana. Di pintu gerbang atau di lapangan tenis atau di dalam gedung. Lalu saya akan menjawab. Yah di gedung Fhisip-UT lah, lebih tepatnya Prodi Sastra Inggris bidang minat penerjemahan. Padahal saya sarjana Sastra Indonesia, lho. Kok bisa ya? Nanti deh saya ceritakan di blog ini, makanya dipantengin terus, ya.